22 April 2023 diperingati sebagai hari Bumi Internasional dan oleh banyak pihak menjadi momentum merefleksikan keadaan lingkungan hidup dan momentum tindakan nyata menjaga bumi menjadi tempat yang layak huni untuk semua semua entitas, baik itu makhluk biotik maupun abiotik. Saat ini bumi sedang dalam kondisi sedemikian parah karena terjadinya perubahan iklim, Sekjend PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa “Planet Bumi terus berada dalam ancaman krisis yang sangat serius akibat krisis iklim. Dampak krisis iklim akan membahayakan kesehatan planet, umat manusia dan spesies serta seluruh eksosistem yang menopang kehidupan di bumi” (dikutip dari laporan Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC). Hal ini disebabkan oleh aktifitas-aktifitas yang mempengaruhi ekologi dan merusak ekosistem di bumi.
Di Indonesia Momentum Hari Bumi tahun ini bertepatan dengan Tahun politik untuk pemilihan serentak 2024 sehingga diharapkan semua pihak yang “berkontestasi dalam pertarungan” politik nanti akan juga mengurai problem dan solusi terhadap permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Demikian pula di Nusa Tenggara Barat, problem perlindungan Lingkungan Hiidup juga menjadi hal serius yang berhadap-hadapan dengan pembangunan dan investasi di sektor pertambangan dan pariwisata;
Dari sederet pembangunan yang merupakan project maupun program strategis nasional dan investasi, terutama pada sektor pertambangan dan pariwisata di NTB sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan “berkah” bagi rakyat NTB, justeru sebaliknya telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di Nusa Tenggara Barat baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir, artinya sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik Kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah di NTB. Dari hasil investigasi walhi NTB mencatat laju kerusakan hutan di NTB telah mencapai 60% dari luasan hutan di NTB yang disebabkan oleh aktfitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata;
Hasil investigasi Walhi NTB mencatat beberapa pembangunan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sehingga terjadinya kerusakan ekologi dan kehancuran ekosistem diantaranya : Pertambangan PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha, pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo), pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1.348 Ha. Secara umum jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 Ha, belum lagi maraknya pertambangan illegal di Pulau Lombok dan Sumbawa. Adapun sector Pariwisata di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 Hektar juga akan mengancam terjadinya kerusakan
ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani seluas 500 Ha.
Belum lagi problem pemenuhan hak setiap warganegara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat tentunya harus menjadi titik berat pembangunan dari segala sector, akan tetapi niat pencanangan net zero emission tahun 2050 oleh pemerintah NTB berbanding terbalik dengan maraknya penggunaan batu bara dalam pemenuhan pasokan listrik di NTB, secara factual di NTB menggunakan 7 PLTU batu bara sebagai pemenuhan pasokan listrik. Walhi NTB mencatat satu PLTU saja dengan kapasitas 3×25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit1. tentunya akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan apabila 7 PLTU berbahan baku batu bara tidak di pensiunkan di NTB.
Selain itu, pada kenyataannya sebagaimana data dan informasi yang banyak di release oleh media massa tentang masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan kedelapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia, sebagaimana data yang diperoleh oleh WALHI NTB dari beberapa sumber dan data tahun 2021 yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 % dari jumlah penduduk di NTB atau total penduduk miskin di NTB mencapai 735,30 ribu jiwa.
Hal tersebut juga diperparah dengan diterbitkan Perpu Cipatekerja oleh Presiden RI yang sudah ditetapkan menjadi UU sangat mengancam berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan dan pelosok negeri. Presiden beralasan terdapat kegentingan memaksa akibat geopolitik dan ketidakpastian hukum bagi investor sebagai dasar pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja), bertujuan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Padahal pada waktu bersamaan Presiden dan sejumlah Menteri, menyatakan pertumbuhan perekonomian meningkat secara signifikan pasca pandemi Covid-19. Anomali terjadi tidak hanya pada alasan pengesahan Perppu Cipta Kerja dan pernyataan kondisi perekonomian pasca pandemi. Pembangunan di Indonesia harus diganjar dengan berbagai penggusuran atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, ancaman kedaulatan pangan, fleksibilitas tenaga kerja, liberalisasi pendidikan, dan legitimasi pengrusakan lingkungan hidup serta berbagai bentuk pelanggaran HAM pada petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya semakin masif terjadi.
Dengan demikian, momentum Hari Bumi 22 April 2023, Walhi NTB menyatakan sikap:
- Mendesak Presiden RI segera mencabut Perpu/UU Cipta Kerja dan hentikan segala bentuk pengkhianatan dan pembangkangan terhadap Konstitusi serta segera mencabut seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi;
- Mendesak Pemerintah NTB untuk memberikan perlindungan terhadap 403 pulau di NTB dari Krisis Iklim, Bencana Ekologis dan investasi berbasis kawasan;
- Mendesak pemerintah NTB untuk membatalkan rencana pembangunan di kawasan hutan maupun pesisir yang berpotensi merusak ekologi dan menghancurkan ekosistem seperti rencana pembangunan kereta gantung, dll;
- Mendesak Pemerintah NTB segera menghentikan penggunaan batubara sebagai bahan baku pasokan listrik dan mengoptimalksan potensi Energi baru terbarukan di NTB;
- Mendesak pemerintah NTB segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup di kawasan hutan dan pesisir pulau Lombok dan Sumbawa;
- Mendesak pemerintah NTB menangani dan menjamin adanya mitigasi kebencanaan di NTB bagi seluruh korban dan wilayah terdampak.
Demikian pernyataan sikap Walhi NTB bersama lembaga anggota di Kabupaten KLU dan jaringan yang terlibat, diantaranya: OPAL, PUGAR, JKSMP, YLKMP, LSBH NTB, SAHABAT HIJAU, WANAPALA NTB, SP Mataram, Sahabat Walhi, GSM NTB.
Koordinator Hari Bumi Internasional di NTB,
Mathori Abdul Wahid
Bima Bani Perkasa