Jakarta Walhi NTB- Istilah perampasan ruang laut (ocean grabbing) digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil. Perampasan ruang laut terjadi melalui kebijakan, undang-undang, dan praktik yang mendefinisikan dan mengalokasikan akses, penggunaan, dan kontrol sumber daya perikanan jauh dari nelayan skala kecil dan komunitasnya.
Paper ini bertujuan untuk menjelaskan perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbing) di dalam 28 dokumen Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya proyek reklamasi dan penambangan pasir laut. Kedua proyek ini, terbukti telah menghancurkan ekosistem perairan yang menjadi ruang tangkap nelayan, sekaligus menghancurkan kehidupan sosial ekonomi mereka.
Perda RZWP3K yang telah disusun dan disahkan di 28 provinsi menggambarkan arah dan orientasi pembangunan sektor kelautan serta perikanan yang lebih memprioritaskan proyek-proyek industri ekstraktif, terutama reklamasi dan tambang pasir laut. Namun, pada saat yang sama, alokasi ruang yang adil tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil. Hal ini menegaskan, politik pengakuan negara terhadap keberadaan ruang hidup nelayan yang menjadi pahlawan protein bangsa Indonesia telah hilang.
Luasnya proyek reklamasi dalam RZWP3K juga menggambarkan betapa penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat 33, telah diberikan kepada sektor swasta.
unduh dokumen selengkapnya : https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Negara%20Melayani%20Siapa%202.pdf