poto istimewa/ saat hearing di kantor Bupati loteng

Lombok Tengah, 24 Juli 2025 –

Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan, Lombok Tengah, bersama WALHI NTB mendesak pemerintah segera menuntaskan redistribusi tanah seluas 182 hektar diwilayah karang sidemen dan 173 di desa lantan yang selama ini mereka garap. Dalam forum mediasi yang digelar Kamis (24/7) dikantor Bupati Lombok Tengah, Sekda sebagai moderator memipmpin forum, dihadiri Direktur Land Reform ATR/BPN RI, Kanwil ATR/BPN NTB, Kantah Lombok Tengah, Kepala Desa Lantan, Kepala Desa Karang Sidemen, serta puluhan perwakilan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) karang sidemen.

Tanah seluas 355 hektar di Karang Sidemen dan Desa Lantan, Lombok Tengah, telah menjadi sumber penghidupan bagi Ratusan kepala keluarga selama puluhan tahun. Di atas tanah ini, mereka menanam, membangun rumah, dan menggantungkan masa depan keluarga mereka. Namun, hingga kini status tanah tersebut belum memiliki kepastian hukum, meski pengajuan redistribusi melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Ketidakpastian ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup warga. Tanpa kepastian hukum, mereka terancam terus-menerus berhadapan dengan klaim perusahaan, potensi kriminalisasi, dan konflik agraria yang berkepanjangan.

Redistribusi tanah menjadi mendesak bukan hanya untuk memenuhi amanat Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023 tentang Reforma Agraria, tetapi juga untuk memastikan keadilan sosial, kedaulatan pangan, dan ketenangan hidup masyarakat lokal. Semakin lama proses ini tertunda, semakin besar potensi ketegangan dan kerugian yang akan dialami oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

Masyarakat menegaskan penolakan terhadap keterlibatan PT. Tresno Kenangan—perusahaan yang mewarisi hak erfacht keluarga Soetrisno dalam skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Perusahaan tersebut, menurut warga dan WALHI, tidak pernah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan secara hukum tidak memenuhi ketentuan Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023 sebagai subjek TORA.

“Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat GTRA provinsi. Sekarang justru ada upaya melibatkan perusahaan yang dulu menindas warga. Orang tua kami dipaksa bekerja tanpa upah layak di bawah keluarga Soetrisno. Luka itu belum sembuh,” tegas Suparman, perwakilan LMDH Karang Sidemen.

Kepala Desa Lantan, Erwandi, turut mempertegas suara warga. “Warga Kami tidak menginginkan perusahaan ini kembali, karena trauma mendalam, Warga hanya ingin kepastian hukum dan redistribusi yang adil, agar tanah bisa dikelola masyarakat sesuai aturan,” ujarnya.

Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menyampaikan lima poin sikap:

  1. Mempertanyakan asal-usul istilah “eks HGU PT. Tresno Kenangan”, padahal perusahaan ini tidak pernah memiliki HGU, hanya hak erfacht.
  2. Meminta penjelasan dasar hukum jika perusahaan, pemerintah daerah, atau bank tanah dimasukkan sebagai subjek TORA, yang dinilai bertentangan dengan Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023 tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria.
  3. Menuntut penegasan tindak lanjut berita acara audiensi dengan Dirjen Pentag ATR/BPN RI beberapa bulan lalu saat warga karang sidemen ke Jakarta;
  4. komitmen warga/penggarap di desa karang sidemen menyisihkan 30 hektar untuk kawasan Perlindungan DAS, fasilitas umum (fasum), dan fasilitas sosial (fasos), sementara 152 hektar lainnya untuk dikelola 520 KK penggarap ;
  5. Meminta agar setiap surat keputusan dan tanggapan atau jawaban ke Komnas HAM, karena sebelumnya walhi menerima surat tembusan dari komnas HAM;
poto istimewa/Direkur Walhi NTB – Amri Nuryadin

Pemerintah Akui Tidak Ada HGU, Siapkan Jalur Mediasi

Direktur Land Reform ATR/BPN, Rudi, menegaskan komitmen pemerintah:
“Kami sepakat, berdasrkan data dan berkas yang ada, tidak pernah terbit sertifikat HGU PT. Tresno Kenangan. Yang ada hanya lahan eks erfacht keluarga Soetrisno, Kami hadir di sini bukan untuk berpihak pada salah satu pihak, tapi memastikan redistribusi berjalan adil dan tidak memicu konflik baru dikemudian hari, karena bagaimanapun semua pihak termasuk perusahaan harus diakomodir kepentingannya, sesuai dengan penyataan Menteri Hadi (saat menjabat Menteri ATR/BPN) bahwa jika masih ada lahan yang dikelola/dikuasai eks pemilik/keluarga sutrisno maka perlu juga diakomodir”

Plt Kakanwil ATR/BPN NTB, Lutfi, menjelaskan bahwa PT.Tresno Kenangan ini juga sempat mengajukan Izin HGU/transformasi dari Hak Erfact sebelumnya. Dan Lutfi juga mengatakan Bale Mediasi akan memfasilitasi kesepakatan antar pihak sebelum GTRA Provinsi dan Pusat mengambil keputusan final. “Bale Mediasi bukan pengganti GTRA, tetapi berfungsi mempercepat proses. Hasil mediasi akan dibahas dalam rapat GTRA. Kami pastikan perwakilan warga dan WALHI diundang langsung,” katanya.

Konflik redistribusi lahan eks erfacth ini bukan perkara baru. Pengajuan TORA oleh warga sudah bergulir, namun tak kunjung tuntas. Warga bahkan melaporkan dugaan maladministrasi ke Ombudsman NTB, menuding lambannya BPN dalam menindaklanjuti permohonan ini yang dianggap mandek.

Amri menegaskan, tanah ini bukan HGU, melainkan bekas hak erfacht keluarga soetrisno yang telah berakhir tahun 1980, sehingga prioritas redistribusi kepada rakyat sesuai amanat Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023. Namun, adanya klaim dari perusahaan dan pihak lain memaksa proses ini masuk ke jalur mediasi multi-pihak.

“Redistribusi tanah ini harus untuk rakyat. Menunda lagi berarti membiarkan konflik agraria terus berlarut, membuka peluang kriminalisasi, dan melanggengkan ketidakadilan struktural,” tegas Amri

“Menutup forum, Sekda Lombok Tengah, Lalu Firman, menyampaikan bahwa pemerintah kabupaten juga berharap agar sebagian lahan dapat dialokasikan sebagai aset daerah. Hal ini dimaksudkan agar Pemda bisa membangun fasilitas publik yang bermanfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat. Ia menegaskan bahwa proses selanjutnya akan menunggu jadwal mediasi multi-pihak yang akan difasilitasi oleh Bale Mediasi Provinsi NTB.”

Privacy Preference Center