WAHANA PENCINTA ALAM (WANAPALA) – NUSA TENGGARA BARAT WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)– NUSA TENGGARA BARAT SAHABAT HIJAU – NUSA TENGGARA BARAT “Ite tebala’ sedak gawah Rinjani, ite tesuruk jagak gunung, laguk investor jari tukang kapling” (kita di larang merusak hutan rinjani, kita diminta menjaga gunung, tapi investor jadi tukang kaplingnya”
I. PEMBANGUNAN di NTB Sejatinya pembangunan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat baik itu kesejahteraan ekonomi, pembangunan juga diharapkan mampu mendorong serta membangun relasi sosial yang kuat guna melahirkan kinerja atau budaya kerja yang tinggi di tengah masyarakat, demikian pula terhadap lingkungan hidup harus menjadi perhatian khusus dengan menjaga kelestariannya yang akan menjamin keberlanjutan pembangunan untuk masyarakat;
Dari sederet pembangunan yang merupakan project maupun program strategis nasional dan investasi, baik itu pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu daerah yang menjadi locus sejumlah pembangunan tersebut, namun keberadaan project maupun program strategis nasional dan investasi sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan “berkah” bagi rakyat NTB, sebaliknya justeru telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di Nusa Tenggara Barat baik di kawsan hutan sampai dengan pesisir, artinya sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik Kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah di NTB. Selain itu, pada kenyataannya sebagaimana data dan informasi yang banyak di release oleh media massa tentang masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan kedelapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia, sebagaimana data yang diperoleh oleh WALHI NTB dari beberapa sumber dan data tahun 2021 yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 % dari jumlah penduduk di NTB atau total penduduk miskin di NTB mencapai 735,30 ribu jiwa.
Salah satu investasi yang digadang dan menurut Pemerintah Provinsi NTB akan mendatangkan berkah bagi pariwisata di NTB adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan rinjani (RTK 1) dengan luas areal 500 Ha beserta pembangunan infstrukturnya dan rencana pembangunan resort, termasuk di dalamnya akan memanfaatkan lahan yang di kelola oleh warga/petani dalam skema perhutanan sosial baik itu Hutan Kemasyarakatan maupun TAHURA dengan nilai investasi sebesar 2,2 Trilyun Rupiah;
II. KRITIK “PLAN KERETA GANTUNG” di GAWAH – RINJANI
Perencanaan pembangunan kereta gantung beserta seluruh infsrtrukturnya sebagian besar akan di bangun di kawasan hutan maka tentunya akan berdampak penting pada lingkungan hidup di kawasan hutan (perubahan bentang alam, potensi rusaknya ekologi dan perubahan fungsi hutan) serta akan berdampak pula terhadap keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya karena sudah pasti akan menggunakan teknologi tinggi yang diperkirakan penerapannya mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;
Oleh karena itu, banyak aspek yang harus dikaji terlebih dahulu termasuk pula kajian Detail Enginering Design (DED) dan Feasibility Studies (FS) sebagai bagian terpenting dalam hal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan tersebut sebagaimana pasal 22 dan pasal 23 Undang undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditegaskan kembali dalam pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor : 04 Tahun 2021 tentang daftar usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Penyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup;
Selain itu, diatur pula pada pasal 19 dan pasal 24 dalam Undang Undang Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur jelas terkait pengelolaan hutan dengan aktifitas yang akan merubah bentang alam dan fungsi hutan harus melalui kajian terpadu dan mendalam serta ditentukan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Demikian pula dalam pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang menentukan bahwa Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan dan ditentukan pula penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan selain kegiatan kehutanan tidak termasuk pembangunan seperti hal Pembangunan Kereta Gantung dengan orientasi investasi pariwisata seperti rencana Pemerintah NTB untuk digunakan oleh koorporasi “indonesia Lombok Resort” yang akan membangung Kereta Gantung dan Resort serta infrastrukturnya di sebagian besar kawasan hutan Rinjani;
Dengan demikian dalam melakukan pembangunan dalam kawasan hutan sudah tentu mensyaratkan kehati-hatian karena pembangunan akan mengalihfungsikan hutan, merubah bentang alam dan memiliki daya rusak terhadap ekologi dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sehingga perhatian dan kajian regulatif harus dilakukan secara mendalam dan komferehensif. Klaim pemerintah NTB yang menjelaskan bahwa pembangunan kereta gantung di kawasan hutan sekitar gunung rinjani tidak merusak lingkungan adalah hal yang “mengada-ada” karena dari yang diungkapkan oleh pemerintah yaitu pembangunan kereta gantung beserta infrastrukturnya akan dilakukan di dalam areal perizinan seluas 500 Hektare tentunya akan menggunakan setidaknya 10 % sampai 30 % pembangunan yang dilakukan. untuk itu akan ada 50 hektare sampai 150 Hektare areal untuk pembangunannya, baik itu pondasi kereta gantung maupun untuk infrastrukturnya, sehingga jika dirata-ratakan dalam 1 hektare terdapat minimal 400 pohon (jarak tanam ±4 meter), maka akan ada sekitar 2000 sampai dengan 6000 pohon yang akan ditebang demi areal pembangunan kereta gantung. Dengan demikian, apabila dikatakan tidak merusak hutan adalah hal yang “mengakali” publik secara luas di NTB. Maka pemerintah harus tegas kepada Pengusaha dengan mewajibkan adanya bentuk-bentuk “jaminan kesungguhan” pengusaha terkait dalam pengelolaan kawasan hutan rinjani yang akan dialih fungsikan dari fungsi sejatinya kawasan hutan yakni untuk paru-paru kehidupan, kesejahteraan publik dan perlindungan keanekaragaman hayati di dalamnya;
Sehingga dengan demikian, ground breaking pembangunan kereta gantung pada Desember 2022 di gawah/hutan gunung rinjani telah merusak tatanan perizinan dalam penyelenggaraan kegiatan di dalam kawasan hutan dan akan menjadi cerminan buruk investasi di NTB secara umum karena dilakukan tanpa adanya kajian dan perizinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sampai release ini di keluarkan, tidak ada sosialisasi ataupun penjelasan ke publik oleh pemerintah NTB ataupun pengusaha terkait tentang permitted atau perizinan dan kajian terhadap pembangunan kereta gantung di gawah/kawasan hutan rinjani, terlebih lagi kawasan rinjani telah di tetapkan sebagai geopark internasional oleh UNESCO pada tahun 2018.
Pada tanggal 13 bulan 12 Tahun 2020, Gubernur NTB pernah menyatakan : “Dalam sambutannya, Gubernur menyampaikan agar semua pihak bersama-sama merawat dan menjaga kelestarian Rinjani, mari perlakukan Rinjani layaknya makhluk hidup. “Ketika kita memaknai bahwa Rinjani adalah sesuatu yang hidup, akan ada kesadaran bahwa dia akan lahir, dia akan tumbuh, dia akan sakit, dan ketika dia sakit harus dirawat dan kalau tidak hati-hati dia akan mati,” pesan Gubernur NTB Dr. Zulkieflimansyah. Di nyatakan dalam kegiatan sosialisasi kebijakan pemulihan ekosistem di tingkat tapak (Piagam Rinjani) serta dalam rangka mendukung pelaksanaan Festival Geopark Rinjani Tahun 2020 Balai TN Gunung Rinjani. kegiatan berlangsung di Ulem-ulem, Desa Tetebatu, Kec. Sikur, Kab. Lombok Timur (https://dispora.ntbprov.go.id/article/gubernur-ntbmelakukan-deklarasi-rinjani-dan-soft-launching-jalur-pendakian-rinjani.html );
Dapat di fahami bahwa kalimat tersebut adalah kesadaran yang maksimal yang dapat diungkapkan oleh Gubernur NTB untuk kelestarian lingkungan hidup di kawasan rinjani, akan tetapi hal ini menjadi berbanding terbalik saat beliau meresmikan kereta gantung pada groundbreaking project pembangunan kereta gantung di kawasan hutan rinjani (2022) dengan tanpa adanya kejelasan “Detail Enginering Design” DED dan Feasiblity Studies/FS karena adanya alih fungsi kawasan hutan menjadi industri pariwisata berbasis kawasan di kawasan hutan rinjani yang tentunya akan mempertaruhkan perubahan ekologi dan bentang alam serta keanekaragaman hayati yang ada di kawasan hutan rinjani;
Kearifan lokal yang muncul dalam upaya pelestarian kawsan rinjani adalah adanya kesepakatan publik dengan munculnya PIAGAM RINJANI yang dideklarasikan juga merupakan bagian yang memberikan peringatan dan pemahaman kepada semua pihak terhadap tata kelola kawasan rinjani termasuk hutannya dalam hal pengelolaan kawasan hutan rinjani agar dikelola dengan kearifan lokal dan terus menjaga kelestariannya dan tentunya tidak menciptakan keterancaman matinya kawasan hutan rinjani sebagaimana fungsinya sebagai kawasan hutan yang akan memberikan kontribusi untuk rakyat dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan agar rakyat mendapatkan lingkungan yang hidup dan sehat;
Dengan demikian kami dari WAHANA PENCINTA ALAM (WANAPALA) – NUSA TENGGARA BARAT, WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)– NUSA TENGGARA BARAT, SAHABAT HIJAU – NUSA TENGGARA BARAT yang tergabung dalam ALIANSI RINJANI BERGERAK menyatakan dengan tegas sikap kami terhadap penetapan Kawasan Rinjani sebagai Destinasi Pariwisata :
MENDUKUNG PENETAPAN KAWASAN RINJANI SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA SEBAGAI LANGKAH KONGKRIT UNTUK MEMBANGUN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT DI NTB;
AKAN TETAPI KAMI JUGA BERSIKAP DENGAN TEGAS:
1. MENOLAK INVESTASI YANG MENGALIHFUNGSIKAN KAWASAN HUTAN RINJANI ATAU INVESTASI BERBASIS KAWASAN;
2. MENOLAK PEMBANGUNAN KERETA GANTUNG DI KAWASAN HUTAN RINJANI;
3. MENUNTUT ADANYA PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN WILAYAHWILAYAH KELOLA RAKYAT DI KAWASAN HUTAN RINJANI SEBAGAI SOLUSI KONGKRIT UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT;
4. MENUNTUT PELIBATAN PUBLIK DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN INVESTASI DI DESTINASI PARIWISATA KAWASAN HUTAN RINJANI
5. MENUNTUT TRANSPARANSI DAN AKSES PUBLIK TERHADAP PENGELOLAAN KAWASAN LINGKAR RINJANI
Narahubung:
1. WALHI NTB (Echank)
2. WANAPALA NTB (Rian)
3. Sahabat Hijau (Fajar)