Bandung, Indonesia, 11 Mei 2022: Koalisi untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia dan NGO dan kelompok masyarakat sipil pendukung hari ini menuntut Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembiayaan AIIB sebesar 250 juta dollar untuk Proyek Pembangunan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika, setelah adanya komunikasi dari Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Surat tersebut, yang dikirim oleh Olivier De Schutter, UN Special Rapporteur on extreme poverty and human rights (Reporter khusus PBB bidang kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia) yang mempersoalkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia sehubungan dengan proyek tersebut oleh AIIB, ITDC dan pemerintah Indonesia [1].
Kelompok masyarakat sipil juga meminta AIIB, dan para debiturnya—ITDC dan pemerintah Indonesia—untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh pengusiran paksa, pemukiman kembali tidak secara sukarela dan pembebasan lahan masyarakat, termasuk masyarakat adat, dari lahan mereka, dan mematuhi rekomendasi dikeluarkan oleh Prosedur Khusus OHCHR Dewan Hak Asasi Manusia [2].
“Kami mendesak AIIB untuk segera menangguhkan pembiayaan proyek Mandalika, yang dimulai tanpa Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC), yang sesuai dengan komunikasi PBB, bertentangan dengan persyaratan berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan bahwa FPIC harus didapat dalam kondisi bebas dari paksaan, intimidasi atau manipulasi’”, ungkap Mohammad al Amien, koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia.
“Masyarakat adat dipaksa keluar dari lahan mereka dan masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat agraris dihadapkan pada hilangnya mata pencaharian mereka”, lanjutnya. “AIIB juga harus segera meminta kliennya, ITDC dan pemerintah Indonesia untuk membubarkan satuan tugas pengadaan lahan yang sebagian besar terdiri dari tentara dan kepolisian di Mandalika yang menggunakan taktik intimidasi dan pembatasan gerakan terhadap masyarakat yang terkena dampak”.
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia terdiri dari organisasi lingkungan dan hak asasi manusia Indonesia dan internasional yang memantau kebijakan dan proyek bank pembangunan multilateral di Indonesia.
Setelah masa tenang selama 60 hari, prosedur khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Mandat Special Rapporteurbidang kemiskinan ekstrem mengumumkan komunikasinya pada 8 Maret pada 11 Mei 2022 dan menyerukan agar AIIB, ITDC, dan pemerintah Indonesia mempertanggungjawabkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kesewenang-wenangan yang dilakukan dalam pelaksanaan proyek Mandalika, menunjuk seorang mediator independen dan Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan kunjungan lapangan oleh special rapporteur PBB ke dalam wilayah proyek, untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan terkait [3].
Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika, yang terletak di pulau Lombok, Indonesia, adalah pembangunan pariwisata infrastruktur besar-besaran yang sebagian besar didanai oleh AIIB yang menyediakan sebesar 78,5 persen dari total pendanaan proyek melalui pinjaman sejumlah $248,4 juta [4]. Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika yang dibiayai AIIB merupakan proyek mandiri pertama bank tersebut di Indonesia yang disetujui pada akhir tahun 2018, di tengah konflik lahan sebagai akibat dari pengadaan lahan dan pemukiman kembali secara paksa dalam persiapan untuk proyek, AIIB lalai melakukan uji tuntas dan memastikan bahwa risiko pemukiman kembali tidak secara sukarela dan penggusuran paksa masyarakat adat di wilayah yang terkena dampak area yang dihindari, diminimalkan atau dimitigasi, sebelum persetujuan pinjaman pada bulan Desember 2018 [5].
Komunikasi baru-baru ini yang dikeluarkan oleh Prosedur Khusus Hak Asasi Manusia PBB yang menangani proyek Mandalika dan pelanggaran hak asasi manusia menunjukkan bukan pertama kalinya AIIB lalai mematuhi standar hak asasi manusia. Pada bulan Maret 2021, Special Rapporteur PBB dengan tanggung jawab terhadap masalah kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia, pembela hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat, perumahan, solidaritas internasional dan ketertiban internasional, serta satuan tugas terkait bisnis dan hak asasi manusia, mengungkap bagaimana anggota masyarakat terdampak menjadi sasaran ancaman dan intimidasi jika mereka menolak untuk menyerahkan lahan mereka atau menerima kompensasi yang ditentukan secara sepihak dalam pengadaan lahan dan pemukiman kembali secara paksa. Laporan juga menunjukkan pengerahan pasukan keamanan atas prakarsa pemerintah secara berlebihan dalam persiapan dan pelaksanaan proyek [6].
Menurut laporan bulan Mei 2022 yang dibuat oleh para pembela hak asasi manusia dan anggota masyarakat yang terkena proyek yang memantau pembangunan di Mandalika, banyak masyarakat terpaksa menjadi tunawisma sebagai akibat dari pemukiman kembali secara paksa, sementara lebih dari 100 keluarga masih terpaksa tinggal di samping lokasi konstruksi di dekat trek balap MotoGP, di mana publik dan masyarakat harus melewati pos pemeriksaan untuk memasuki area perumahan berpagar—lokasi proyek yang sengaja dibangun—yang dijaga oleh tentara dan polisi.
“Dari diskusi publik yang kami lakukan dengan masyarakat setempat yang terkena dampak pada Maret 2022, jelas, seperti yang dinyatakan oleh Special Rapporteur PBB, bahwa AIIB dan kliennya di Indonesia belum mempertanggungjawabkan bagaimana penggusuran paksa dilakukan, yang menurut pada analisis dan pemantauan kami, menunjukkan bagaimana ITDC dan pemrakarsa proyek lalai memenuhi standar Undang-Undang No. 2/2012 tentang pengadaan lahan, meskipun standarnya rendah, dengan tidak memberikan hak dan perlindungan yang sama seperti persyaratan perlindungan lingkungan dan sosial AIIB atau persyaratan perlindungan hukum hak asasi manusia internasional”, kata Harry Sandy Ame, peneliti koalisi dan WALHI Nusa Tenggara Barat, tempat proyek Mandalika berada. “Klaim oleh ITDC dan AIIB bahwa mereka tidak bertanggung jawab secara langsung atas pelanggaran hak asasi manusia dan konflik lahan yang disebabkan oleh Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika [7,8] sama sekali tidak benar, karena masyarakat yang terkena dampak telah menyaksikan dan mengalami intimidasi kekerasan sejak awal proyek.”
“Pemerintah sebagai pemegang saham AIIB memiliki tugas pengawasan yang dilakukan oleh perwakilan mereka di Dewan Direksi, dan pemerintah juga bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban Hak Asasi Manusia mereka”, kata Pieter Jansen dari Both ENDS, sebuah organisasi Belanda yang memantau bank pembangunan multilateral, termasuk AIIB. “Pemegang saham AIIB harus bertindak untuk memastikan kliennya ITDC dan pemerintah Indonesia bertindak segera dan mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus Mandalika dengan cara mengurangi dan memperbaiki kerugian yang ditimbulkan secara memadai di mana mereka terlibat”.
“Dengan menyediakan pembiayaan inti untuk proyek tersebut, AIIB harus bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam membiayai proyek Mandalika, di mana klien dan pendukung proyeknya telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan memicu konflik lahan”, kata Wawa Wang dari Just Finance International. “Meski anggota masyarakat dan masyarakat sipil telah berulang kali meminta AIIB untuk melakukan dan mengungkapkan pemantauan dan audit terhadap kebijakan lingkungan dan sosialnya, AIIB menghindari transparansi dan akuntabilitas dengan menolak permintaan tersebut. Untuk menempatkan dirinya di sisi yang benar, AIIB harus berkomitmen pada evaluasi independen oleh para ahli hak asasi manusia yang dipilih melalui konsultasi dengan dan disetujui oleh NGO dan masyarakat yang terkena dampak proyek.”
“Atas nama masyarakat adat yang terkena proyek, nelayan, kaum perempuan dan anak-anak di kawasan proyek pariwisata Mandalika, kami menuntut agar AIIB segera menghentikan pemberian pinjaman kepada pemerintah Indonesia dan ITDC serta memperhitungkan dampak HAM”, pungkas Amien, “Kami mengulangi tuntutan yang sama seperti yang telah kami buat sejak tahun 2019—agar bank mengungkapkan audit lahan yang merupakan dasar untuk lampu hijau proyek AIIB, penilaian kliennya, ITDC, implementasi perlindungan lingkungan dan sosial AIIB, serta hasil pemantauan dan rencana pengelolaan penggunaan personel keamanan, sesuai persyaratan ESF AIIB. Kami juga meminta Presiden AIIB Jin Liqun, yang memberikan komitmen pribadinya kepada kami pada pertemuan tahunan AIIB sejak tahun 2019 dan kemudian pada tahun 2021, untuk memastikan bahwa AIIB akan memperbaiki dampak sosial dengan segera mengimplementasikan rekomendasi PBB, untuk menghentikan pemiskinan yang melumpuhkan masyarakat yang terkena dampak proyek sebagai akibat keberadaan proyek Mandalika”.
Narahubung Pers:
Just Finance International, Dave Walsh, Communications Advisor, +34 691 826 764 press@justfinanceinternational.org
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia:
Eksekutif Nasional WALHI, Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan, Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat, Eksekutif Daerah WALHI NTB, ELSAM, INDIES, Green Youth Movement, Lembaga Studi Bantuan Hukum (Institute of Study and Legal Aid), Jatam Kalimantan Timur, Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Indonesia Legal Aid Foundation ), Kanopi Hijau Indonesia, Amnesty International, Just Finance International, Both ENDS, FIAN International, FIAN Indonesia, LBH Bandung.
Untuk informasi lanjut, sila hubungi: Koalisippiindonesia@gmail.com
—– —– —– —– —–
Tanggapan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia atas Surat OHCHR kepada AIIB, ITDC dan Pemerintah Indonesia
Sebagai koalisi NGO yang memantau dan membela hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak proyek pariwisata Mandalika sejak tahun 2018, berikut adalah tanggapan kami terhadap surat OHCHR:
Pertama, Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, mendukung penuh semua pernyataan dan rekomendasi PBB kepada AIIB, ITDC dan pemerintah Indonesia sebagai pemberi pinjaman dan pemilik proyek pariwisata Mandalika. Khususnya terkait penyelesaian konflik pertanahan dan pemulihan hak-hak masyarakat adat yang terkena proyek pariwisata Mandalika dan penghentian keterlibatan TNI dan Polri dalam upaya penyelesaian konflik lahan antara ITDC dengan masyarakat. TNI dan Polri tidak boleh dilibatkan dalam proyek pembangunan infrastruktur apalagi menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik. Kekuatan militer hanya bisa dilibatkan saat negara dalam keadaan darurat.
Kedua, sebagai perwakilan masyarakat yang terkena dampak, kami merasa perlu meminta PBB untuk turut serta memantau secara serius dan berkesinambungan konflik lahan di wilayah proyek AIIB. Karena AIIB adalah penyandang dana langsung untuk proyek ini. Kami juga mendukung PBB untuk mendesak AIIB menghentikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia dan ITDC agar penyelesaian konflik dapat segera dilakukan dan hak-hak dasar masyarakat dapat dijunjung tinggi. Ketiga, penjelasan dan permintaan PBB kepada ITDC, AIIB dan Pemerintah Indonesia merupakan bukti nyata bahwa proyek utang di Indonesia berpotensi menghilangkan hak-hak masyarakat, khususnya perempuan miskin dan merupakan bukti bahwa ITDC dan pemerintah Indonesia sebagai mitra AIIB lalai mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam pembangunan dan tidak mematuhi kebijakan MDB tentang perlindungan lingkungan dan sosial. Selain itu AIIB yang tidak serius dalam menerapkan peraturan perlindungan lingkungan dan sosial di Indonesia, sehingga dana publik yang dikelola di AIIB berpotensi digunakan untuk menggusur masyarakat adat, memiskinkan perempuan, dan menghilangkan masa depan anak-anak di Indonesia.
Kami mendesak PBB untuk menindaklanjuti surat yang telah dikirimkan kepada AIIB, ITDC dan Pemerintah Indonesia. Kami meminta PBB untuk mengawal masalah ini, agar masyarakat, terutama perempuan dan anak yang terkena dampak, dapat memperoleh keadilan.