HAM atau Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Namun sayangnya, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran HAM. Bahkan hampir setiap negara memiliki permasalahan dalam usaha untuk menegakkan HAM, tidak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia;
Dugaan kuat terjadinya Pelanggaran HAM di Nusa Tenggara Barat dalam kehidupan sosial dan akses ekonomi kerap kali terjadi terhadap warga yang wilayahnya diorientasikan untuk suatu pembangunan yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan ekonomi warga, akan tetapi faktanya menghilangkan bahkan menghancurkan sumber-sumber ekonomi warga baik di daratan sampai dengan pesisir.
Pembangunan masih saja menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah, perusahaan berhadapan dengan warga sehingga sering berujung penggusuran dan tindakan pemaksaan/kekerasan, penghancuran ekologi dan lingkungan hidup serta hilangnya kehidupan sosial budaya yang telah mengakar di suatu tempat menjadi kesimpulan yang muncul dalam setiap implementasi pembangunan dan investasi terutama pada sektor pertambangan dan pariwisata bahkan pada pembangunan Project Strategis Nasional (PSN) dan Program Strategis Nasional;
Lagi-lagi atas alasan pembang
uan apa yang semestinya yang menjadi hak dari masyarakat harus di pinggirkan bahkan dihilangkan, dari beberapa temuan di lapangan kami menemukan persoalan yang sangat syarat terhadap pelanggaran HAM didalamnya antara lain :
Pertama : Pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Meninting di Lombok Barat – NTB berdampak serius pada Lingkungan Hidup, Ekonomi Warga, hilangnya wilayah kelola warga Serta Kesehatan Perempuan dan Anak di Desa Bukit Tinggi, Desa Penimbung, Desa Gegerung dan Desa Dasan Griya – Lombok Barat, NTB.
Bendungan Meninting dibangun mulai tahun 2019 hingga saat ini masih dalam tahap pembangunan dan dalam proses pembangunannya dilakukan pembabatan hutan seluas puluhan hektar dan juga pembebasan ratusan hektar lahan milik warga yang berada di beberapa desa yaitu Dusun Murpadang – Desa Bukit Tinggi dan dusun Murpeji-Desa Dasan Griya;
Dari hasil studi di beberapa media massa yang memberitakan proses pembangunan PSN – bendungan meninting, maupun hasil Investigasi lapangan Walhi NTB dan SP mendapatkan informasi fakta lapangan sebagai berikut(1) :
- Sosialisasi Pembangunan Bendungan Meninting Tidak Melibatkan Masyarakat ; Sebelum dimulainya proyek pembangunan bendungan meninting banyak warga terdampak yang tidak mengetahui akan rencana pembangunan bendungan meninting. Hal ini terjadi karena minimnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi pembangunan bendungan meninting. Pada tahun 2018, sosialisasi terkait rencana pembangunan bendungan meninting telah dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh Balai Wilayah Sungai (BWS). Dalam sosialisasi tersbut dihadiri oleh Kejaksaan, Kepolisian, BPN, dan perwakilan dari tiap Desa. Walapaun, sudah dilakukan sosialisasi sebanyak tiga kali, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui rencana pembangunan bendungan meninting. Kepala Dusun Jelateng dan Kepala Dusun Penimbung Timur pun tidak mengetahui akan adanya rencana pembangunan bendungan meninting karena tidak terlibat dalam sosialisasi. Salah satu tokoh masyarakat di Desa Geria dalam wawancaranya dengan tim investigasi tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi pembangunan bendungan meninting. Dan pihak desa pun tidak pernah juga melakukan sosialisasi;
- Krisis Air Bersih ; Sungai Meninting merupakan sumber air yang digunakan oleh masyarakat Desa Gegerung, Desa Penimbung, Desa Dasan Geria dan Desa Bukit Tinggi untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Tetapi, sejak dimulai proyek pembangunan bendungan meninting tahun 2019. Air sungai meninting yang sebelumnya bersih menjadi keruh akibat dari aktivitas proyek pembangunan bendungan meninting. Walapun kondisi air sungai meninting berubah menjadi keruh, masyarakat di Desa Penimbung, Desa Dasan Geria, dan Desa Gegerung masih menggunakan air sungai meninting untuk kebutuhan air sehari-hari karena tidak ada pilihan lain. Karena tidak semua warga di Desa Penimbung dan Desa Gegerung memiliki sumur sebagai sumber air bersih mereka. Yang lebih parahnya adalah air sungai yang mengalir melalui lokasi pembangunan PSN Bendungan Meninting diduga kuat menyebabkan gata-gatal pada setidaknya 50 orang anak dan berakibat buruk pada kesehatan 50 orang perempuan;
- Pembebasan Lahan : Pada artikel berjudul” Pembangunan Bendungan Meninting” yang terbit tanggal 10 Januari 2020 di situs resmi Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I. Pembangunan bendungan meninting dibanguan dilahan seluas +90 Ha yang terdiri dari 4,95 Ha kawasan hutan dan 85,5 Ha non kawasan hutan. Namun, pengakuan warga Dusun Murpadang yang lahannya telah dibebaskan untuk pembangunan bendungan meninting. Pembebasan lahan yang sudah dilakukan untuk bendungan meninting mencapai 400 Ha;
- Hilangnya sumber penghidupan warga : Selain dampak lingkungan yang masyarakat rasakan selama tiga tahun. Masyarakat juga merasakan dampak ekonomi yang timbul akibat pembanguna bendungan meninting. Yang sangat merasakan dampak dari proyek pembangunan bendungan ialah pengerajin sapu, perajin gula aren, dan pembudidaya ikan. Akibat dari proyek pembangunan bendungan meninting banyak dari mereka beralih profesi. Di Dusun Penimbung Timur sebelum proyek pembangunan bendungan meninting dimulai. Kadus Penimbung Timur kepada tim investigasi menyampaikan bahwa terdapat 20 warganya yang menjadi pembudidaya ikan. Tetapi, setelah proyek pembangunan bendungan meninting dimulai, warganya yang sebelumnya menjadi pembudidaya ikan beralih profesi menjadi buruh kasar. Hal ini karena kondisi air sungai meninting yang telah keruh tidak biasa lagi digunakan sebagai sumber air kolam/tambak ikan.Hal serupa juga dialami oleh pembudidaya di Dusun Jelateng. Kadus Dusun Jelateng menyampaikan ke tim investigasi terdapat 50 warga nya yang menjadi pembudidaya ikan. Tetapi, sebagaian pembudidaya ikan di Dusun Jelateng terpaksa masih bertahan menjadi pembudidaya ikan. Walapun, hasil ikan dari kolam/tambak mereka tidak seperti sebelum dimulainya proyek pembangunan bendungan meninting.Peristiwa banjir yang terjadi secara tiba-tiba pada hari jumat tanggal 17 Juni 2022 sekitar pukul 16.00 Wita padahal keadaan cuaca yang cerah atau tidak ada hujan, juga berdampak serius dan parah terhadap 25 kepala keluarga di Dusun Buwuh, Desa Mambalan, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat berupa kerusakan rumah dan properti serta kehilangan mata pencaharian (budidaya ikan air tawar) karena rusaknya kolam dan sawah tempat bercocok tanam. Demikian pula terhadap 3 UMKM yang telah lama melakukan usaha budidaya ikan koi turut mengalami dampak parah yakni rusaknya tempat usaha termasuk hilangnya seluruh bibit ikan yang dimiliki, sehingga kerugian yang diderita mencapai milyaran rupiah.
Kedua : Konflik Pertanahan antara 763 Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan dengan PT Perkebunan Kopi Tresno Kenangan seluas 355 Ha.
Pada Tahun 2008, 763 Kepala Keluarga Desa Karang Sidemen mulai menggarap lahan EX. PT HGU atas nama PT Tresno Kenangan seluas 150 Ha yang terletak di dekat Kawasan hutan Tastura/RTK I – Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, adapun izin HGU atas nama PT. Tresno Kenangan telah daluarsa atau telah lampau waktu sejak tahun 1986 dan tidak dapat diperpanjang oleh PT Tresno Kenangan, bahkan sejak masa berlaku izin HGU nya habis atau lampau waktu, perusahaan tidak dapat memperpanjang masa waktunya disebabkan beberapa prasyarat izin tidak dapat dipenuhi (SIUP dll) termasuk pula pada tahun 2010 terbitnya surat Keputusan Bupati Lombok Tengah terkait tentang penetapan lokasi
tersebut diperuntukkan sebagai areal perkebunan Kopi (SK Bupati Loteng Nomor: 1448 tahun 2008 tentang penetapan status kebun kopi di Desa Lantan dan Desa Karang Sidemen, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Tgl 30 Juni 2008) dan meminta PT. Tresno Kenangan untuk mengosongkan lahan tersebut (SK Bupati Lombok Tengah No. 525.27/672/Hutbun, perihal: perintah pengosongan perkebunan kopi, tertanggal 30 Juni 2008). Demikian pula pada tahun 2012, Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan surat nomor : 2812/25.3500/VIII/2012, tanggal 3 Agustus 2012, yang pada pokoknya menegaskan bahwa “PT. Perkebunan Kopi Tresno Kenangan memiliki lahan perkebunan di Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah yang berakhir Hak nya tanggal 14 Desember 1986 sehingga status tanah tersebut menjadi TANAH NEGARA”;
Pada bulan Oktober 2022, PT. Tresno Kenangan memasang plank yang berisikan tulisan “Tanah Milik PT Tresno Kenangan” di Lahan yang telah digarap dan dikuasai oleh warga sejak tahun 2008-2010 padahal izin HGU atas nama PT. Tresno kenangan telah habis masa berlaku atau telah lampau waktu, sehingga mendapat perlawanan oleh warga Desa Lantan, sampai sekarang lahan tersebut masih di kuasai oleh Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan. Warga berharap dapat mengajukan pengelolaan lahan tersebut secara kolektif atau kelompok melalui skema TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) sebagaimana dalam Perpres Nomor: 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sehingga Walhi NTB mendampingi setiap konsolidasi dan upaya warga dalam melakukan advokasi dan kampanye untuk mendapatkan pengakuan negara atas ruang kelola dan ruang penghidupannya di lahan tersebut.
Ketiga : Konflik Pertanahan, Penghancuran Lingkungan Hidup dan Pelanggaran HAM di Lingkar Ekonomi Khusus Mandalika.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika adalah salah satu dari apa yang disebut “Destinasi Pariwisata Super-Prioritas” di Indonesia, proyek pembangunan di pulau Lombok. Sebagian besar didanai oleh Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) sebesar 248,4 juta USD. AIIB adalah bank yang saham terbesar dari 85 Negara anggota dimiliki oleh China, yaitu 26,3% saham. Dengan demikian, tentu saja China memiliki kepentingan ekonomi yang cukup besar dalam pengembangan KEK di MandalikaLombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Proyek ini juga dikategorikan sebagai bagian dari Belt Road Initiative (BRI) di China yang juga dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Nusa Tenggara Barat berinisiatif untuk mengadvokasi mereka yang terkena dampak Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Mandalika. Selama proses pembangunan berlangsung standar pengelolaan kelestarian lingkungan tidak ditegakkan, relokasi bagi masyarakat terdampak tidak ditangani
dengan baik, dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi isu serius, terutama dalam penyelesaian konflik lahan, perlindungan warisan sosialekonomi dan budaya masyarakat, serta keselamatan perempuan dan anakanak. Tujuan pembangunan KEK Mandalika yang berorientasi pada peningkatan ekonomi, kontras dengan proses pembangunan yang di bawah standar dan sistem perlindungan pembiayaan yang dipersyaratkan oleh AIIB.
Beberapa hasil kajian dan penilaian lapangan WALHI NTB adalah adanya konflik lahan, kerusakan lingkungan dan dampak buruk terhadap perekonomian warga yang saat ini semakin menurun karena sebagian besar akses ekonomi sudah tidak tersedia lagi sebagai petani, nelayan dan peternak serta relokasi tidak layak. Beberapa temuan dalam melakukan investigasi lapangan, antara lain: pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia mengklaim telah melakukan pembebasan lahan dengan skema ganti rugi dan menggusur warga yaitu penggusuran pertama tanpa ganti rugi/ganti rugi, tahun 2019 penggusuran kedua dan pada tahun 2021 penggusuran ketiga. penggusuran tersebut menyebabkan warga sebagai pemilik lahan yang tidak setuju dengan metode ganti rugi, mereka tetap bertahan di lahan mereka dengan cara berpindah dan kembali ke lahan mereka. ada hampir 100 orang atau sekitar 36 KK yang tersisa tinggal di samping lokasi pembangunan dekat sirkuit. Selama acara MotoGP 2022 Maret, anggota polisi dan pasukan keamanan Indonesia memiliki kendali penuh atau berkemah di rumah-rumah dan di sekitar pemukiman orang-orang yang terkena dampak proyek. Anggota masyarakat setempat juga dicegah untuk menegaskan hak-hak tanah mereka dan menuntut kompensasi yang adil dan penyelesaian sengketa. Advokasi dan kampanye yang dilakukan oleh WALHI NTB masih terus dilakukan dengan tetap menngkosolidasikan warga terdampak dan pemantauan terhadap lingkungan di KEK Mandalika.
Keempat : Terancamnya Pertanian Produktif disebabkan aktifitas Pertambangan Galian C di Desa Menemeng dan Bilabante – Lombok Tengah
Wilayah Dusun Gundul dahulu merupakan bagian dari Desa Bagu namun setelah adanya pemekaran pada tahun 2015 masuk menjadi wilayah Desa Menemeng, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah. Aktivitas sehari-hari warga Dusun Gundul yang berjumlah 850 jiwa adalah petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani, dimana wilayah pertanian subur milik warga Dusun Gundul seluas ±200 Hektar termasuk dalam wilayah Desa Bilabante yang terletak di sebelah barat Desa Menemeng. Luas wilayah Desa Menemeng adalah 288,4075 dengan keadaan topografi sebagian besar dataran dengan sistem irigasi yang baik sehingga kegiatan pertanian menjadi sektor ekonomi yang bergerak dinamis di Desa Menemeng, hal inilah yang menggerakkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Nusa Tenggara Barat bergerak bersama-sama warga Dusun Gundul dan sekitarnya untuk memperjuangkan wilayah pertanian sumber penghidupan warga agar tetap terjaga dan lestari. Aktifitas pertambangan
pasir illegal tersebut mulai muncul sejak tahun 1999 di beberapa titik di Desa Bilebante, termasuk dikawasan pertanian yang digarap oleh warga Dusun Gundul. Karena kehawatiran akan terus digerusnya lahan pertanian produktif dan merusak ekosistem pertanian oleh tambang pasir, pada tahun 2002 muncul penolakan dari warga Dusun yang makin hari penolakan warga semakin kuat terhadap pertambangan pasir (galian c).
Pada Tahun 2005 penolakan warga Dusun Gundul terhadap tambang pasir semakin meluas, sehingga warga meminta Kepala Desa Bilebante, Camat Pringgarata dan Bupati Lombok Tengah agar menghentikan dan menutup tambang pasir tersebut, namun aktivitas tambang pasir terus tejadi sehingga masyarakat melakukan aksi pemblokiran jalan dan merusak jembatan yang merupakan pintu masuk atau akses jalan salah satu penambang pasir illegal yang berada di Dusun Gundul, Desa Bagu (sekarang Desa Menemeng). Akibat penolakan warga tersebut warga kemudian 3 orang warga dikriminalisasi (Saleh Las Amaq Rabiah Als Haji Zulkarnaian, Saneh Als Amaq Sartini, dan Arinah), oleh penambang illegal dengan tuduhan melakukan perusakan jembatan, dan dalan vonis Pengadilan Negeri Praya Lombok Tengah akhirnya warga dikenakan tidak Pidana Ringan, dan dalan kasasi yang diajukan jaksa, Mahkamah Agung (MA) warga diputuskan bebas murni (tahun 2007) dengan di dampingi WALHI. Selanjutnya, Tambang di wilayah dusun Gundul akhirnya berhenti namun di titik-titik lain di wilayah Desa Bilebante tetap dilakukan penambangan liar oleh pera panambang, yang kemudian memicu keberanian penambang lain untuk kembali berani membuka dan melakukan penambangan di dusun Gundul, Beberapa upaya penambangan illegal pernah dilakukan dalam kurun 2008-2015 namun tetap berhasil di tolak warga. Akan tetapi usaha “jahat” perusahaan untuk melakukan pengrusakan ruang penghidupan warga terus dilakukan dengan berbagai macam cara, bahkan pada awal tahun 2019, salah seorang Aktifis Walhi NTB yang memimpin langsung pendampingan warga mendapatkan tekanan serius yaitu rumah miliknya dibakar oleh orang tidak dikenal dan diduga kuat karena upaya dan perjuangan bersama warga Desa Menemeng dalam melakukan penolakan terhadap beroperasinya Tambang Galian C tersebut.
Pada Bulan Oktober 2022, warga dikejutkan kembali dengan terbitnya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi atas nama CV Karman Jaya Unggul dengan lokasi izin di Desa Bilabante Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah dan akses jalan di Desa Menemeng, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah. Beberapa izin yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diberikan beraktifitas eksploratif disalahgunakan dengan melakukan aktifitas produksi, sehingga warga kembali melakukan penolakan atas izin dan aktifitas operasi produksi pertambangan oleh perusahaan CV Karman Jaya Unggul. Dasar dari penolakan warga adalah :
– Peraturan Desa Bilabante Nomor : 03 tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata Hijau, tanggal 24 Juni 2016; Pada pokoknya menegaskan : bahwa wilayah pengembangan Desa Wisata Hijau di Desa Bilabante merupakan pengembangan Desa yang berbasis pariwisata dengan model pemberdayaan komunitas lokal dan mengacu pada pelestarian lingkungan alam, ekonomi dan sosial budaya termasuk pula di wilayah tempat yang kami duga kuat ada aktifitas pertambangan galian C yaitu di Dusun Karang Kubu, Desa Bilabante, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah. Kami duga kuat aktifitas usaha pertambangan galian C tersebut tidak mengindahkan Peraturan Desa Bilabante Nomor 03 tahun 2016 tentang pengelolaan desa wisata hijau;
– Surat dari dari Dinas energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Nusa Tenggara Barat yang ditujukan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nomor : 540/02/DESDM/2017, perihal Pertimbangan Teknis atas Permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Bahan Galian Batuan, Tanggal 02 Januari 2018; Pada pokoknya menegaskan : Permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi batuan (pasir urug dan tanah urug) atas nama saudara Karman Jaya dan M. Saleh Hambali tidak dapat diproses untuk diterbitkan IUP Operasi Produksi Batuan karena memperhatikan adanya Peraturan Desa Bilabante Nomor : 03 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata Hijau, tanggal 24 Juni 2016;
– Surat dari dari Dinas energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Nusa Tenggara Barat yang ditujukan kepada Kepala Desa Bilabante, Nomor : 540/103/DESDM/2019, perihal : Tanggapan terhadap Permohonan Izin Tambang, Tanggal 15 Januari 2019 (dokumen surat terlampir); Pada pokoknya menegaskan : Permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi batuan (pasir urug dan tanah urug) atas nama saudara Karman Jaya tidak dapat diproses untuk diterbitkan IUP Operasi Produksi Batuan karena memperhatikan adanya Peraturan Desa Bilabante Nomor : 03 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata Hijau, tanggal 24 Juni 2016. Permohonan izin baru dapat diproses apabila Perdes Nomor 03 tahun 2016 direvisi dimana pada salah satu pasalnya menjelaskan wilayah-wilayah yang boleh ditambang;
Sebagaimana tergambarkan beberapa peristiwa diatas, menunjukkan bahwa masih buruknya tata Kelola pemerintahan yang ada, Ketika berhubungan dengan hajat hidup masyarakat secara umum, hal tersebut Nampak hanya karena alasan pembangunan dan untuk percepatan pemulihan ekonomi maka terkesan segala cara dilakukan oleh pemerintah
bahkan sampai melanggar HAM pun akan diwajarkan, sehingga masyarakat yang menjadi korban, UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik, yang menjadi ruh dari komunikasi antara setiap kebijakan pemerintah dengan masyarakat tidak dapat dilakukan dengan maksimal, dan hanya Nampak seperti peng-guguran kewajiban yang dilakukan oleh pemerintah namun tidak mewujudkan kualitas informasi yang semestinya didapatkan oleh masyarakat, ruang-ruang partisipasi seperti hanya menjadi slogan-slogan yang terpampang di setiap aturan dan dindingdinding pusat layanan public namun implementasinya tidak ada sama sekali, Ketika masyarakat menyampaikan keluhan malah di kriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik/perbuatan tidak menyenangkan dan lain sebagainya. Bahkan dengan di sah kanya Rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dimana sudah menjadi rahasis umum prosesnya yang cenderung tidak transparan dan tidak memenuhi kaidah-kaidah didalam tahapan penyusunan Undangundang dimana salahs atunya adalah pelibatan masyarakat secara massif yang semestinya dilakukan justru sebaliknya hanya kalangan tertentu saja yang dilibatkan bahkan sampai dengan di tetapkan telah terjadi polemik di public bahwa ada beberapa pasal yang dipaksakan dan cenderung merugikan jalanya demokrasi di negara ini, hal ini sangat syarat akan terjadinya pelanggengan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Atas dasar tersebut maka kami menyatakan sikap :
- Pemerintah harus melakukan tindakan cepat untuk merespon warga yang terdampak dalam pembangunan Bendungan Meninting baik itu dari sisi kesehatan (perempuan dan anak), hilangnya mata pencaharian, rusaknya lingkungan dan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang sudah dilakukan jauh sebelum adanya Bendungan Meninting.
- Memberikan sosialisasi yang massif kepada masyarakat terhadap setiap program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah , tanpa adanya diskriminasi.
- Pemerintah harus memberikan Hak Kelola Lahan kepada 763 warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan Kabupaten Lombok Tengah, karena itu adalah sumber penghidupan mereka dan kelestarian alam pun terjamin karena apa yang mereka lakukan selama ini dalam mengelola lahan EX HGU PT Tresno Kenangan seluas 355 Ha.
- Pemerintah harus segera menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika dan melakukan recovery atau pemulihan terhadap kerusakan ekologi di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.
- Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat harus segera mengeluarkan surat keputusan untuk menghentikan aktivitas pertambangan galian C di Desa Menemeng dan Desa Bilebante Kabupaten Lombok Tengah, karena aktivitas tambang tersebut mengancam Ruang Kelola pertanian dan Ruang Hidup warga lainnya di wilayah tersebut.
- Pemerintah harus membuka informasi terkait dengan Amdal serta prasyarat perizinan lainnya (kelayakan, kepatutan dan kehati-hatian) dalam setiap pembangunan baik itu Proyek Nasional maupun Proyek Daerah.
Demikian pernyataan sikap bersama: Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, SOMASI NTB, WALHI NTB, Warga Terdampak Bendungan Meninting, Warga Desa Bilebante dan Desa Menemeng, Warga Terdampak KEK Mandalika dan Warga Desa Karang Sidemen dalam rangka merespon peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia pada tanggal 10 Desember 2022, atas perhatian kami sampaikan terimakasih.
Narahubung :
– Koordinator Lapangan- Mathori Abdul Wahid
– Amri Nuryadin-WALHI NTB
– Nurul-Solidaritas Perempuan Mataram
– Haris-Somasi NTB