Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.504 pulau, dimana  7.280 pulau berada di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua (BANUSRAMAPA). Di atas pulau-pulau tersebut, hidup beragam kebudayaan bahari yang menjadi ciri khas Nusantara. wilayah BANUSRAMAPA adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati dan diversifikasi pangan lokal Nusantara. 

Ironisnya, kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini berkebalikan dengan prinsip kekayaan biodiversitas, serta kedaulatan dan keberlanjutan pangan masyarakat di BANUSRAMAPA yang memiliki ciri panjang wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil. 

Diantara gegap gempita pembangunan yang digaungkan oleh Pemerintah adalah ekspansi proyek strategis nasional yang jumlah 210 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022, yang bias pembangunan infrastruktur dan industrialisasi skala besar berbasis kawasan. Pada masa depan, orientasi pembangunan semacam ini akan mendorong hilangnya ruang kedaulatan rakyat, baik dalam tata kuasa maupun tata kelola kelola rakyat.

Walhi region BANUSRAMAPA melihat pembangunan infrastruktur, industrialisasi berbasis kawasan (industri pertambangan, industri kehutanan, perkebunan sawit monokultur, industri food estate dan industri pariwisata) sangat berpotensi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menyingkirkan hak kuasa dan kelola masyarakat di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di wilayah Bali, Nusa tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur Maluku Utara dan Papua

Dari data Izin Usaha Pertambangan per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektar (1.405 IUP) wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektar (324 IUP) wilayah laut dengan persentase pertambangan timah 373.265,58 Ha (13%), batubara 446.215,40 Ha (14%), biji dan pasir besi 538.769,99 Ha (18%), nikel 568.169,85 Ha (20%), emas 583.161,86 Ha (20%), granit dan marmer 5.999,80 Ha (0,2%), gamping dan tanah liat 35.121,66 Ha (1%), mangan 37.599,88 Ha (1%), tembaga 80.489,39 Ha (3%), pasir dan batu 81.814,974 Ha (3%), lain-lain 169.262,54 Ha (6%).

WALHI mencatat sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan. Selain dampak pertambangan, proyek reklamasi di tahun 2019 dengan luasan 79.348 hektar telah mengakibatkan 747,363 orang nelayan kehilangan wilayah tambatan perahu dan wilayah tangkapan di pesisir laut. sementara total luasan reklamasi yang direncanakan sampai 2040 yang tertuang dalam 22 RZWP3K seluas 2.698.734,04 Ha.

Sektor pariwisata dan kawasan konservasi laut yang juga merupakan rangkaian proyek strategis nasional berkontribusi terhadap hilangnya wilayah tangkapan nelayan.  Pemerintah menargetkan 32 juta ha pada 2030 kawasan konservasi laut. Ada 88 KSPN sampai tahun 2025, mayoritas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada ratusan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Kawasan Destinasi Pariwisata Nasional (KDPN).

Sepanjang 2010–2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang.  Dalam satu dekade terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah hilang. Penyebab utamanya diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan.

Kebijakan pembangunan di Indonesia belum memperlihatkan arah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius seperti yang disampaikan presiden Indonesia dalam pidatonya di pertemuan COP 26 yang berlangsung di Glasgow.

Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Februari 2022 mengemukakan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24 persen. 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.  Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030.

Masyarakat yang berada di 3.658 desa pesisir di BANUSRAMAPA akan merasakan dampak dari kebijakan proyek strategis nasional terutama penggunaan energi fosil dalam pengembangan industri pertambangan terutama di wilayah timur Indonesia yang semakin mempercepat laju degradasi lingkungan serta krisis iklim yang berdampak pada kerentanan pangan, ketidakpastian hasil tangkapan nelayan, hilangnya pulau-pulau kecil dan bencana ekologi.

Walhi Region BANUSRAMAPA melihat rezim saat ini sepertinya melupakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena dikelilingi oleh gunung berapi aktif yang tersebar di darat dan dilaut, 12 sesar aktif yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami.

Kebijakan yang dipenuhi oleh industri ekstraktif justru akan mempercepat bencana ekologi serta menciptakan pengungsi iklim akibat dari hilangnya tempat bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bali

Made Krisna Bokis Dinata Direktur WALHI Bali menjelaskan jika perusakan wilayah pesisir oleh pembangunan infrastruktur terus menjadi mimpi buruk yang menghantui pesisir Banusramapa. Bayangkan saja, pemerintah Provinsi Bali  dengan segala kewenangannya justru ingin menggunakan Mangrove Tahura Ngurah Rai dan Perairan Sanur untuk menjadi tapak Terminal LNG.

Terlebih, telah terungkap pemrakarsa dari proyek pembangunan Terminal LNG Sidakarya adalah PT Dewata Energi Bersih yang mana didalamnya mayoritas saham dipegang swasta bernama PT Padma Energi Bersih. Perumda Bali yang merupakan BUMD yang berada di bawah kewenangan Gubernur Bali paling ngotot menggunakan Mangrove hingga diduga melakukan perubahan blok Tahura untuk mengakomodir pembangunan Terminal LNG dikala saham Perumda hanya minoritas dan didapat dari hutang (saham kosong) . “Ini sungguh siasat privatisasi Blok Khusus terhadap lahan publik kepada swasta” tegasnya.

Nusa Tenggara Barat

Direktur ED Walhi NTB, Amri Nuryadin menjelaskan, dari sederet pembangunan yang merupakan project maupun program strategis nasional dan investasi, baik itu pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu daerah yang menjadi locus sejumlah pembangunan tersebut, namun keberadaan project maupun program strategis nasional dan investasi sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan “berkah” bagi rakyat NTB, sebaliknya justeru telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di Nusa Tenggara Barat baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir, artinya sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik Kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah di NTB. Selain itu, pada kenyataannya sebagaimana data dan informasi yang banyak di release oleh media massa tentang masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan ke delapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia, sebagaimana data yang diperoleh oleh WALHI NTB dari beberapa sumber dan data tahun 2021 yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 % dari jumlah penduduk di NTB atau total penduduk miskin di NTB mencapai 735,30 ribu jiwa.

Salah satu investasi yang digadang dan menurut Pemerintah Provinsi NTB akan mendatangkan berkah bagi pariwisata di NTB adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan rinjani (RTK 1) dengan luas areal 500 Ha beserta pembangunan infstrukturnya dan rencana pembangunan resort dengan nilai investasi sebesar 2,2 Trilyun Rupiah. Walhi NTB melihat pembangunan tersebut akan meningkatkan terjadinya laju kerusakan hutan di NTB dan hanya memberikan keuntungan bagi investor bukan menjadi solusi dari kesulitan ekonomi rakyat pasca pandemi covid-19;

Bahwa selain laju kerusakan hutan di NTB yang begitu parah yakni hampir 60% dari 1,1jt Ha luasan hutan di NTB dalam keadaan kritis, keterancaman kerusakan ekologi juga terjadi di Pesisir pulau lombok dan pulau sumbawa yang sangat diduga kuat terjadi disebabkan oleh investasi skala besar dalam industri pariwisata yaitu KEK Mandalika di pesisir selatan Lombok Tengah seluas 1.250 Hektar, Investasi tambak Udang yang merata berada di seluruh pesisir Pulau Lombok, investasi budidaya mutiara skala besar yang menyebabkan hilangnya sebagian besar ruang tangkap nelayan di pesisir jerowaru Lombok Timur, selain itu pula rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 Hektar juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara.

Adapun sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir antara lain:  PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (dahulu PT. NNT) dengan luas 125.341,42 Hektar di Kabupaten Sumbawa Barat dengan dampak seriusnya juga terjadi karena pembuangan limbah tailing nya ke pesisir pantai. Dan industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo) yang juga mengancam kerusakan di pesisir pantai lakey – dompu, begitu pula dengan Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang saat ini tengah dibangun di Kabupaten Sumbawa Barat seluas 100 Hektar yang mengancam pesisir di Benete-Maluk, Sumbawa Barat.

Keterancaman akan terjadinya kerusakan ekologi dan privatisasi pulau-pulau kecil juga sangat kita khawatirkan terjadi terhadap 403 pulau-pulau di NTB baik itu karena investasi pariwisata dan juga investasi skala besar lainnya maupun privatisasi serta penjualan pulau pulau kecil di NTB, adapun pulau-pulau kecil di NTB yaitu: Lombok Barat sebanyak 126 pulau; Lombok Tengah 44 pulau; Lombok Timur 65 pulau; Kabupaten Sumbawa 23 pulau; Kabupaten Bima 23 pulau; Dompu 58 Pulau; Kabupaten Sumbawa Barat 19 pulau dan Lombok Utara 3 pulau.

Nusa Tenggara Timur

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menyampaikan, NTT saat ini berada dalam dua ancaman besar yang sedang dan akan menggempur bumi nusa lontar ini. Pertama, perubahan iklim memberikan dampak yang buruk bagi keberlanjutan lingkungan di NTT. Beberapa pulau kecil di NTT seperti pulau Komodo, Salura, Kera, dan gugusan pulau kecil lainnya terancam hilang akibat kenaikan permukaan air laut. Belum lagi meningkatnya bencana iklim di NTT menambah kerentanan bagi kelompok rentan di NTT. 

Ancaman kedua datang dari masifnya investasi kotor yang masuk di NTT. Investasi yang rakus lahan dan berujung pada privatisasi serta alih fungsi kawasan memberikan dampak buruk bagi daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup NTT. WALHI NTT mencatat NTT saat ini dikepung oleh 309 IUP Minerba, Industri Pariwisata, Monokultur, Food Estate, serta beberapa Proyek Strategis Nasional yang tersebar di seluruh wilayah NTT.  Proyek-Proyek kotor ini diwarnai dengan perampasan lahan dan alih fungsi kawasan tanpa kajian daya dukung dan daya tampung yang mendalam dengan dalil peningkatan kesejahteraan rakyat. Legitimasi ini bertolak belakang dengan catatan BPS pada 2021 yang mencatat 20 persen masyarakat NTT mengalami kemiskinan ekstrim. Ini membuktikan pertumbuhan investasi tidak menjadi solusi mengatasi kemiskinan di NTT. Meningkatnya kemiskinan di NTT justru membuat jumlah kelompok rentan semakin bertambah. Karena kelompok miskin lebih memiliki sedikit alternatif untuk menghadapi krisis iklim dan dampak bencana ekologi.  

Maluku Utara

Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela menyampaikan bahwa Maluku Utara yang luasan lautnya 100.731,44 Km2 sedangkan luas daratannya hanya 45.069,66 Km dan telah dipenuhi oleh Investasi pertambangan berjumlah 110 IUP Seluas 615.179,44 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten/kota (2 kabupaten yaitu Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan masuk dalam proyek strategis nasional sedangkan Halmahera Timur masuk dalam program strategis nasional dengan industri pertambangan nikel), perkebunan monokultur 59949,14 Ha, 867.352 Ha industri kehutanan, serta industri pariwisata di pulau-pulau kecil yang sangat berdampak terhadap 934 desa yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara yang menggantungkan sumber kehidupannya di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

Papua

Tanah Papua bukan hanya dikenal dengan hutan papua yang rimba dan kaya akan flora dan fauna yang ada di darat. Papua juga memiliki banyak pulau-pulau kecil yang berada di wilayah timur indonesia, terdapat 3.676 pulau yang punya nama dan ada 6 pulau yang tidak punya nama dari. Dari pulau-pulau kecil yang ada saat ini memiliki kawasan hutan mangrove yang sangat tinggi mengikat karbon.

Kawasan Hutan mangrove mempunyai beberapa fungsi yakni pengikat karbon, penahan substrat pantai dari abrasi, penahan angin atau gelombang, penahan intrusi air laut. Selain itu peningkatan suhu akibat perubahan iklim memicu rusaknya terumbu karang. Selain berbicara soal perubahan iklim dan degradasi mangrove, tapi juga persoalan terbesar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah tata kelola ruang. Baik di wilayah darat maupun lautan kondisi keterancaman ini sangat mengkhawatirkan, karena memiliki resiko besar memperentan wilayah tersebut, termasuk resiliensi terhadap bencana, karena perpaduan bencana perubahan iklim dan rusaknya kawasan yakni memunculkan potensi kerentanan wilayah. 

Kekhawatiran Nelayan Masyarakat adat Papua 

Persoalan sosial ekonomi. Perubahan iklim memicu anomali cuaca sehingga mengacaukan kalender musim nelayan, sehingga banyak nelayan yang merasakan dampaknya terutama menurunnya hasil tangkapan serta keselamatan mereka saat melaut dan selain itu nelayan masyarakat adat papua juga terlihat bersaing dengan masyarakat lain yang datang dari luar papua. lain itu ancaman datang juga dari beberapa investor yang sedang beraktivitas di kawasan sekitar pulau-pulau kecil, baik itu yang kabupaten yang berada di provinsi papua dan papua barat, termasuk 4 daerah provinsi baru.

oleh karena itu, untuk mengatasi problem yang demikian, seperti persoalan semakin terancamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, memang membutuhkan sebuah kebijakan dan regulasi yang berbasis pada kondisi faktual dan masyarakat. Serta memiliki perspektif sensitif ekologi dan perubahan iklim, perlu ada kebijakan dan regulasi nantinya melihat aspek perlindungan, rehabilitasi dan memperhitungkan loss and damage untuk menghitung potensi yang akan hilang serta dampaknya bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Untuk itu Walhi Region BANUSRAMAPA menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk sesegera mungkin memetakan dan mendokumentasikan semua wilayahnya sebelum wilayahnya hilang akibat dari bencana ekologi dan krisis iklim yang akan melanda seluruh wilayah indonesia terutama wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. dan juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia. Selain itu, mendorong pemerintah menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan kawasan dan masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.