TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Walhi NTB menyebut sejumlah proyek strategis nasional di NTB belum mendatangkan berkah bagi rakyat NTB.
Dari sederet rencana strategis Nasional, baik itu proyek pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu daerah yang menjadi fokus sejumlah proyek tersebut.
Namun, keberadaan project strategis nasional dan investasi skala besar sangat jauh dari harapan mendatangkan berkah bagi rakyat NTB, sebaliknya justeru telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di NTB.
Artinya bahwa seluruh proyek strategis nasional di NTB, tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi baik Kawasan hutan maupun pesisir.
Bahkan kenyataannya, masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan kedelapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia.
Salah satu sektor memberikan kontribusi sangat besar terhadap laju kerusakan dan memiliki daya rusak luar biasa terhadap hutan di NTB adalah sektor ekstraktif yaitu pertambangan beserta infratstruktur pendukungnya yang di bangun dalam Kawasan Hutan konservasi dengan konsesi atau permit yang diperoleh dari pemerintah (IPPKH/Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dll); jumlah Izin Usaha Pertambangan di NTB antara lain : IUP Eks sebanyak 39 : 36698,44 Ha, IUP Op sebanyak 216 : 91613,14 Ha.
Ancaman perusakan lingkungan dikawasan hutan terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, baik diwilayah hutan maupun pesisir.
Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir antara lain: PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (dahulu PT. NNT) dengan luas 125.341,42 Hektar di Kabupaten Sumbawa Barat.
Dan industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo), begitu pula dengan Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu: PT. CHina Nonferrous Meta Industry Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI), dan PT. PIL Indonesia.
Selain pertambangan berizin, di NTB juga tercatat bahwa maraknya illegal mining atau tambang illegal (Pertambangan tanpa izin) diantaranya adalah di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa juga menjadi penyebab kerusakan hutan dan ekologi yang juga menjadi penyebab terjadinya bencana banjir di banyak wilayah di NTB.
“Dari hasil investigasi Walhi NTB tahun 2020 Tercatat bahwa luas Kawasan hutan di NTB sluas 1,07 Juta Hektar adapun lahan kritis dalam Kawasan Hutan di NTB telah mencapai 578.000 hektar sedangkan sisanya mengalami keterancaman atau potensial mengalami kerusakan/kritis. Artinya bahwa hampr 60 % hutan di NTB sudah rusak parah dan perlu perhatian yang maksimal oleh pemerintah NTB,” kata ED Walhi NTB Amri Nuryadin pada Kamis, (23/6/2022).
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa proyeksi pembangunan dan investasi di Nusa Tenggara Barat saat ini sudah seharusnya memperhatikan beberapa regulasi yang menunjukkan “Lex Spesialis” atau kekhususan wilayah NTB sebagai wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
NTB memiliki gugusan pulau besar dan kecil (280 buah pulau dengan 44 pulau yang berpenghuni dan seluruh pulau tersebar di 10 wilayah; Di Kabupaten Lombok Barat terdapat 38 buah pulau, Lombok Tengah 20 buah pulau, Lombok Timur 35 buah pulau, Sumbawa Barat 15 buah pulau, Sumbawa 62 buah pulau, Dompu 23 buah pulau dan Bima sebanyak 84 buah pulau).
Seluruh wilayahnya adalah berbatasan langsung dengan pesisir dan laut sehingga dalam menempatkan dan melaksanakan pembangunan serta proyeksi investasi di NTB musti mempertimbangkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar pembangunan ataupun investasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak sekedar “pro investasi tapi juga pro rakyat serta menjaga ekologi” terutama feasibility (kelayakan) dan certainty (kepastian) secara ekonomi serta dan propriety (kepatutan) secara social budaya.
Demikian pula keharusan dalam menjaga ekologi serta ecosystem yang asri bukan menghadirkan pembangunan atau investasi yang mengancam atau bahkan memberikan dampak kerusakan ekologi dan ecosystem baik dikawasan hutan maupun di pesisir dan pulau pulau kecil di NTB, terlebih lagi tidak memberikan dampak ekonomi dan kesejateraan dan kemakmuran kepada rakyat sebagaimana mandate dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
Urgensi Demokratisasi SDA di NTB
Demokratisasi sumberdaya alam di NTB adalah hal penting dalam pengelolaan dan proses pembangunan di NTB. Keterlibatan penuh masyarakat dalam proses pembangunan harus tetap di jamin dan dilindungi dalam seluruh regulasi yang mengatur terkait pembangunan khususnya di NTB.
Hal ini berangkat dari fakta bahwa laju kerusakan hutan di NTB yang terbesar disebabkan oleh aktifitas pertambangan baik legal maupun illegal, sementara pengawasan dan penindakan serta penegakan hukum terhadap hal tersebut hampir tidak terdengar.
Aktivitas pertambangan baik skala kecil maupun skala besar tetap akan mengakibatkan daya rusak, sehingga perizinan tentunya merupakan pengaturan terhadap wilayah mana yang dapat dilakukan untuk aktifitas pertambangan dan tentu pula pengaturan siapa yang dapat diberikan izin dari aktifitas pertambangan.
Mengingat bahwa pertambangan dalam bentuk dan skala apapun memiliki daya rusak, dan berdampak penting bagi lingkungan, Perizinan pada sektor pertambangan seharusnya tidak hanya dipergunakan pemenuhan administrasi untuk penarikan retribusi, namun harus diletakkan sebagai upaya pembatasan dan kontrol dari daya rusak (tidak semua tempat, tidak semua orang).
Perspektif izin sebagai retribusi dan administrasi semata mendorong adanya mekanisme keterlanjuran (upaya pemutihan pelanggaran) yang menjadi preseden buruk penegakan hukum pertambangan.
Terkait hal tersebut di atas, kunjungan KPK ke provinsi NTB yang saat ini sedang dilakukan dalam rangka koordinasi dan supervisi dengan pemerintah daerah NTB (dari tanggal 20 – 24 Juni 2022) terkait Minerba/pertambangan seharusnya tidak sekedar melakukan kunjungan lapangan terhadap wilayah pertambangan di NTB, baik yang memiliki izin usaha pertambangan ataupun terhadap yang tidak berizin atau “Illegal Mining”.
“Kita mendorong KPK agar bersikap tegas dalam melakukan evaluasi terhadap proses perizinan pertambangan dalam Kawasan hutan dan wilayah pesisir di NTB dengan mempertimbangkan “daya rusak/penghancuran” yang akan ditimbulkan oleh aktifitas usaha pertambangan,” tandasnya.
Diakuinya, hal tersebut penting dilakukan sebab izin usaha pertambangan memiliki sejumlah risiko yang dapat memicu adanya beragam praktek korupsi seperti penyalahgunaan kekuasaan hingga gratifikasi.
Sejumlah risiko itu antara lain karena lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan, tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan.
Buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan tata kelolapertambangan, serta lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP.
Pihaknya menyebut KPK harus menyadari bahwa konsepsi teoritis “izin” adalah sesuatu pengecualian, yang memperbolehkan sesuatu/ suatu tindakan yang sebetulnya dilarang, sehingga, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was (ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperboehkan).
Untuk itu pula, terhadap APH (aparat penegak hukum) di NTB, agar KPK juga mendorong secara tegas penindakan dan penegakan konstitusi oleh APH (aparat penegak hukum) terhadap illegal mining atau pertambangan tanpa izin terutama yang D diduga kuat dilakukan oleh korporasi secara langsung maupun dangan modus “bersembunyi” dibalik individu.